Diary Senja Oen

​Malam semakin tenggelam, langit terlihat cerah dengan hiasan bintang, memancar lembut dari balik dinginnya angin.Menghangatkan hati dari kekosongan.Young Soo menengadah, merangkai harapan diantara dinding langit berharap cinta pertamanya kembali.Kehadiran Joo Eun mengingatkan kilatan mata putri mahkota.

Ia mendesah, mengendurkan rindu yang tak berujung.Entah sejak kapan rasa itu bersarang saat ia mulai menyerahkan hati pada satu jiwa kecil yang mungkin tak merasakan cinta untuk dirinya, senyum polos itu selalu menjadi kemurnian sikapnya.Tatapan menyelidiknya seolah memancarkan ketulusan bahwa hati itu tak dapat dibeli dengan gelar.

“Akan seperti apa jika kita nanti bertemu?”Gumamnya lirih, menyadarkan lengannya dilantai papan tempatnya duduk, melengkungkan tubuh kedepan, memastikan indahnya langit malam tak terlewatkan sedikitpun.

“Kau belum tidur?” ia menoleh sedikit terkejut, tak menyadari langkah Joo Eun.

“Ah, yah, aku tidak bisa tidur.Langit malam terlihat indah setelah aku menyadarinya akhir-akhir ini.”ia tersenyum.Membiarkan Joo Eun duduk disampinganya.Menatap Joo Eun yang menengadah menatap malam.Bulu mata itu benar-benar panjang dan lentik, lebih cocok untuk seorang perempuan.Ia berdehem menyadari pikiran anehnya, kembali menengadah.

“”Ada bingkaian cakrawala, lintasan langit itu seperti galaksi yang memberi batasan garis dari balik siluetnya.” jari telunjuk itu melukis langit, menyatukan titik hitam diantara garis putihnya.

Young Soo terdiam, menyadari ucapan itu tak sepenuhnya ia tahu artinya namun ia memahami seluruh maksudnya.Tersenyum merangkai lukisan dalam benaknya tentang gambaran yang dibentuk Joo Eun dengan jarinya.”Rasanya begitu damai berdiri diatas langit seindah itu.”ia bergumam pelan.

“Hem, sebuah perasaan hangat ketika kerinduan tak menemukan muaranya untuk dituju.”Joo Eun mengangguk, mendesah berat teringat dengan orang-orang yang dicintainya.Menyadari bahwa saat ini ia hidup sebatang kara.

Menyadari Young Soo menatapnya, ia menoleh, tersenyum lembut dengan kedipan sekilas.Bibirnya bergerak lembut menatap Young Soo lewat, menyadari mata itu lekat menatapnya tak berkedip.”Emmm, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?”ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.Young Soo menggeleng, kembali menatap malam.

“Apa rencanamu untuk besok?”Young Soo memecah sepi yang beberapa saat lalu merambat.

“Hemmm…..”Joo Eun terlihat berpikir, “Melunasi hutang masa lalu.”Ia tersenyum kaku.Young Soo mengerutkan kening.”Hutang yang sangat besar, mungkin pagi-pagi sekali aku pergi.Ada tempat yang harus aku kunjungi sebelum menuju ke kota.”Ia tak ingin menyebutkan kemana tujuan spesifiknya.

“Hem..Kota?”Mata itu menatap Joo Eun tak mengerti.Tawa kecil Joo Eun terkembang.”Sudahlah, aku tidur dulu.Sudah malam.”Ia bangkit berdiri, “senang bertemu lagi denganmu.”ditepuk bahu Young Soo sebelum melangkah pergi.

Young Soo menghela napas, kembali menengadah setelah menatap punggung Joo Eun menghilang dari pandangannya.Kembali mencari ketenangan saat mengerti bahwa ia enggan berpisah dengan Joo Eun.Digelengkan kepalanya sesaat menjauhkan pemikiran gila yang merambat pelan.”Sepertinya aku harus tidur, dan menyusun rencana untuk besok.”ia bangkit berdiri, meninggalkan teras rumah yang disediakan untuk para petugas besar yang datang dari istana.

“Aku tak mengerti kenapa harus menjual namaku agar pendekar kecil itu mau menginap disini.”suara itu menghalau sunyi.”Astaga.”Young Soo terperanjat, menabrak kursi saat ia hendak meletakkan topi diatas meja tak jauh dari tempat tidurnya.

Matanya berputar, mencari keberadaan Yeong Il.Dihelanya napas panjang, duduk diatas kursi saat matanya menemukan Yeong Il berdiri sedekap dibalik dinding tak jauh dari pintu.Mengerutkan kening saat melihat sahabatnya mengenakan pakaian lengkap.”Kau mau kemana?”

“Aku akan mencari beberapa informasi, setelah rasa mabukku hilang aku menyadari beberapa hal.Sebelum matahari terbit aku akan kembali kemari.Besok pagi akan aku jelaskan rencana kita.Kurasa kita akan menemukan beberapa petunjuk mengenai pemilik pedang naga.”Yeong Il membuka pintu, melesat pergi setelah membungkuk berpamitan.

“Berhati-hatilah.”Teriak Young Soo saat Yeong Il hendak menutup pintu, ia menghentikan tangannya, mengangguk sebelum menutup pintu dengan sempurna.Young Soo menahan napas sesaat, menghembuskannya lembut dan beranjak menuju tempat tidur.

Langit pagi terasa hangat dengan sinar mataharinya, lembut menebarkan kenyamanan saat udara pagi pepohonan melambai mengusik kulit dari balik baju lapis Joo Eun yang tak terlalu tebal.Jaket jemper yang ia bawa tanpa sepengetahuan kakek Yoo tetap rapi didalam tas ranselnya.

Ditarik pelana kuda kuat, melesat meninggalkan perbatasan mengunjungi desa kecil tak jauh dari sana dan akan kembali berputar menuju istana.Rindu dengan tanah kelahirannya berharap rumah itu tetap utuh seperti saat ditinggalkan meski ia menyadari tak mungkin tinggal disana.

Ia cukup senang saat dapat membeli seekor kuda dari uang hasil berjudi meski ia yakin jika kakek Yoo tahu, tak ada ampun untuk dirinya lepas dari hukuman mengerikan selama satu bulan penuh.Senyumnya terkembang saat membayangkan ekspresi marah kakeknya.

“Hiya!” ia kembali memepercepat laju kudanya.

Tepat saat matahari mencapai kepala, Joo Eun sampai didesa kecil tempat pengawal setia ayahnya tinggal, hatinya mencelus, amarah naik keubun-ubu.Desa itu benar-benar hancur, dibakar tanpa meninggalkan sisa.”Brengsek!”Makinya, turun dari kuda dengan darah yang mendidih.

Tak ada kehidupan yang ia rasakan, pembakaran itu terjadi hampir sebulan yang lalu sebelum ia kembali kemasanya.Informasi yang diperolehnya dipenginapan cukup mampu membuatnya menemukan desa ini.Dikepalkan tangannya erat, kembali menaiki kuda dan melesat pergi, berhenti saat merasakan kehadiran seseorang dari balik semak belukar.

Dikendalikan kudanya yang mulai terlihat gelisah saat ia mencoba merasakan detak jantung lainnya, mencoba mencari tahu berapa orang yang sedang mengintai dirinya.Ada sekitar 12 orang bersenyumbi dibalik semak dan pepohonan, lima orang diatas pohon.”Sebaiknya kalain keluar”Suara Joo Eun pelan namun penuh dengan penekanan kemarahan.

Amarahnya masih belum luntur, dengan semua itu ia bahkan mampu membunuh 50 orang sekaligus saat otaknya tak mampu didinginkan dengan rencana jenius.Wanita memang selalu terlihat mengerikan saat mereka marah.Matanya berkilat tajam, tak menghiraukan angin yang mempermainkan anak rambutnya.

Joo Eun bergerak meninggalkan kudanya, terkejut saat ia bisa melayang dengan seringan itu untuk menangkis serangan dari atas, menjauhkan kudanya dari pedang.Petarungan bergerak dengan sengit, ia masih menggunakan belati kecilnya, tak berharap menarik pedang peninggalan keluarganya, yang ia sendiripun tak pernah melepaskan pedang itu dari sarungnya yang dibalut kain hitam disepanjang selongsongnya.

Ia sendiri tak tahu seperti apa bentuk pedang yang diberikan kepadanya, ia hanya senang menggunakan pedang milik kakek Yoo untuk berlatih dipantai dan pegunungan tak jauh dari rumah kakek Yoo yang berada jauh dari kehidupan kota.Meski akhirnya ia harus tinggal dikota selama satu tahun menunggu sampai pintu pembatas itu terbuka.Waktu yang sangat berarti untuknya belajar banyak hal.

Suara pedang yang beradu dengan belati terdengar nyaring.Joo Eun menjauhkan hampir semua musuhnya, hanya membuatnya pingsang saat selama pertarungan ia menyadari mereka bukan petarung terlatih.

“Berhenti!” Suara teriakan seorang gadis terdengar lantang.Joo Eun masih memasang kuda-kudanya, waspada adalah ajaran utama kakeknya.

By, Cahaya Senja 황 환 #IG@senjaoen

Naskah “Jewel in the Grey Sky”

Tinggalkan komentar